TOKYO, KOMPAS.com - Bila di Indonesia teknologi automated guideway transit atau AGT baru sebatas digunakan pada skytrain Bandara Soekaro-Hatta, lain halnya dengan Jepang. AGT di negeri sakura tersebut telah digunakan sebagai salah satu solusi mengatasi kemacetan yang kerap terjadi pusat kota Tokyo yang terkenal sibuk. Adalah Biro Transportasi Tokyo Metropolitan yang mengoperasikan Nippori-Toneri Liner, sebuah rangkaian kereta tanpa awak atau AGT. Relasi ini terbentang sepanjang 9,7 kilometer, memcakup 13 stasiun di sepanjang jalurnya. Chief of Service Promotion Biro Transportasi Tokyo Metropolitan Kazuhiro Uciyama menjelaskan, setiap hari tak kurang dari 86.000 orang yang menggunakan moda transportasi ini.
Penumpang cukup padat terutama pada saat jam-jam sibuk antara pukul 07.00-09.00. Hal itu disebabkan efisiensi waktu yang mereka dapatkan bila menggunakan transportasi ini, dibandingkan dengan menggunakan bus. "Bila menggunakan ini, mereka hanya butuh waktu sekitar 20 menit untuk jarak terjauhnya. Kalau menggunakan bus bisa mencapai 60 menit," kata Uciyama di kantornya, Jumat (30/11/2018). Selain itu, tarif yang dipatok pun relatif lebih murah bila menggunakan bus yaitu berkisar antara Rp 21.000 hingga Rp 42.000. "Kalau untuk jarak dekat sampai empat stasiun lebih murah Toneri Liner ya, sekitar 170 yen (Rp 22.100). Ini rata-rata penggunaan kereta ini. Tapi setelah itu lebih murah bus karena tarifnya flat 210 yen (Rp 27.300)," kata Uciyama.
Sejauh ini, ada 18 rangkaian kereta yang dioperasikan Biro Transportasi Tokyo Metropolitan. Dimana pada setiap rangkaian terdapat lima kereta. Pada jam sibuk jarak kedatangan antara kereta satu dengan kereta yang lain hanya terpaut 3 menit saja. Kendati disebut kereta, namun moda transportasi ini tidak berbasis rel melainkan roda. Karena tanpa awak, maka seluruh kendali operasi dilakukan melalui control room yang ada di stasiun. Kendati demikian, Uciyama menuturkan, pihaknya tetap menyiagakan personel di dalam kereta terutama saat salju turun. Pasalnya, ketika salju turun kerap terjadi penumpukkan di jalur yang dilalui sehingga akan berbahaya bila perjalanan tetap dilakukan sementara jalur tidak steril. "Ini yang barang kali kurang menguntungkan dan mungkin tidak akan terjadi di Indonesia. Karena bisa jadi operasional stop, karena (salju) harus disekop dengan tenaga manusia," kata dia. "Meski sudah dilengkapi dengan roll heater, tapi ketika salju turun deras tetap harus butuh bantuan tenaga manusia," imbuh Uciyama.
Sejak beroperasi pada 2008 lalu, Nippori-Toneri Liner belum memberikan keuntungan hingga balik modal. Ia mengatakan, biaya konstruksi moda ini mencapai 12,69 miliar yen. Adapun untuk pengadaan tanah, biro tidak mengeluarkan anggaran lantaran jalurnya dibangun di atas jalan milik pemerintah. "Sekarang masih ada utang. Walaupun infrastruktur milik Pemerintah Tokyo, tapi untuk rolling stok dan stasiun itu kami yang keluarkan biayanya Rp 4 miliar yen," ungkapnya. Kendati demikian, Uciyama mengaku, pihaknya tidak bisa serta merta menaikkan tarif begitu saja untuk mengejar agar cepat balik modal. "Kalau untuk menjaga keberlangsungan operasi maka harus menerapkan tarif tinggi. Tapi itu tidak bisa dilakukan," tuntas Uciyama.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menjajal Nippori-Toneri Liner, Kereta Tanpa Awak Jepang", https://properti.kompas.com/read/2018/12/11/224700221/menjajal-nippori-toneri-liner-kereta-tanpa-awak-jepang.
Penulis : Dani Prabowo
Editor : Hilda B Alexander