Jakarta - Nilai tukar mata uang rupiah semakin mengkhawatirkan. Dolar Amerika Serikat (AS) bahkan sudah sempat menyentuh level Rp 15.000.
Kondisi ini tentu membuat khawatir semua pihak terutama dari dunia usaha. Para perusahaan mulai berhati-hati dalam menjalankan bisnisnya, termasuk industri properti.
Industri properti sebenarnya baru saja berupaya bangkit setelah beberapa tahun mengalami kelesuan. Namun pelemahan rupiah dikhawatirkan membuat tekanan baik dari sisi pasokan maupun permintaan properti.
Salah satu jurus bagi pengembang yang dinilai ampuh untuk menahan gempuran pelemahan rupiah adalah membangun rumah bersubsidi. Begini penjelasan lengkapnya:
Ketua Kehormatan Real Estate Indonesia (REI), Lukman Purnomosidi menyarankan agar pelaku industri properti untuk fokus mengembangkan perumahan bersubsidi. Sebab untuk membangun jenis perumahan ini tidak membutuhkan bahan baku impor.
"Pembangunan rumah subaidi ini zero devisa dan almost 100% lokal konten," tuturnya.
Menurut Lukman dengan berkembangnya pembangunan perumahan subsidi juga bisa membantu menyelamatkan perekonomian nasional. Selain menghemat devisa, juga mampu mendorong penyebaran pembangunan ekonomi.
"Pembangunan rumah subsidi ini kan menyebar ke seluruh wilayah, kalau seperti itu penyebaran ekonomi bisa merata," tambahnya.
Lukman menilai, sebenarnya peluang di perumahan bersubsidi cukup besar. Pangsa pasarnya juga masih banyak, seperti para PNS kelas bawah yang bekerja di RSUD, kantor kecamatan, kelurahan.
"Jadi ini demandnya banyak sebenarnya, bisa dilakukan setiap kecamatan 100 unit rumah. Jadi ini modal yang kuat. Perumahan subsidi ini quick start," terangnya
Sayangnya, minat dari pelaku properti terhadap perumahan bersubsidi belum begitu besar dan merata. Hal itu terlihat dari masih kecilnya penyaluran KPR Subsidi melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP)
"FLPP berapa si realisasinya? Tadi pagi saya baca di koran baru 15 ribu," ujarnya.
Menurut Ketua Kehormatan Real Estate Indonesia (REI), Lukman Purnomosidi, generasi milenial adalah penduduk dengan pemasukan yang tanggung. Kaum milenial juga tidak bisa membeli rumah bersubsidi lantaran penghasilannya lebih dari batas maksimal pemasukan yang diperbolehkan untuk membeli rumah subsidi.
"Ini jadi masalah, kalau pambelian katakanlah harga Rp 200 juta itu kena PPN nambahnya Rp 20 juta itu. Mereka sudah tidak kuat cicil lagi," ujarnya.
Lukman menerangkan, untuk rumah bersubsidi memiliki banyak fasilitas, mulai dari bebas PPN, PPH hanya 1% dan bunga 5%. Namun fasilitas itu bisa didapat hanya untuk rumah seharga Rp 140 juta.
"Tapi kalau harga rumahnya Rp 141 juta saja atau lebih tinggi Rp 1 juta fasilitas itu semuanya bubar. Pertanyaannya bagaimana milenial bisa beli rumah," tambahnya.
Oleh karena itu, Lukman menyarankan agar pemerintah juga memberikan subsidi terhadap kaum milenial. Pemerintah bisa membuat klasifikasi baru untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
"Kami punya gagasan bikin perumahan semi MBR. Katakanlah rumah seharga Rp 145 juta sampai Rp 500 juta. Mereka juga dapat fasilitas subsidi, tapi ya 50%nya saja dari yang didapat MBR bawah," terangnya.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan membuat kembali formulasi penetapan batas harga perumahan bersubsidi. Nantinya batas harga rumah bersubsidi minimum kemungkinan akan lebih rendah.
Direktur Evaluasi Bantuan Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Arvi Argiantoro menjelaskan pemerintah akan mengatur formulasi batas harga rumah subsidi. Nantinya kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan terbagi lagi.
"Nanti kita coba bedakan kelas dari MBR karena MBR ada yang kelas bawah, ada yang kelas menengah ada yang atas. Nanti akan kita buat rumah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu," ujarnya.
Menurutnya ada beberapa kelas masyarakat yang sulit untuk memiliki rumah. Seperti kalangan milenial yang penghasilannya tanggung, yakni lebih tinggi dari batas maksimum gaji untum membeli rumah bersubsidi, namun tidak sanggup untuk membeli rumah non subsidi.
"Mungkin nanti itu bisa masuk dalam MBR menengah. Nanti harganya lebih besar dan dibuat rumah sejahtera. Tipenya akan lebih besar dari rumah bersubsidi luasnya 45 meter persegi," terangnya.
Sementara untuk masyarakat kelas bawah, masih ada yang tidak sanggup untuk membeli rumah bersubsidi yang dipatok seharga Rp 140 juta. Jika formulasi penentuan harga rumah untuk MBR dipisah-pisah, maka harga rumah subsidi untuk MBR kelas bawah akan lebih rendah dari saat ini.
"Bisa lebih rendah untuk yang MBR bawah, dan itu tipe rumahnya inti, bisa tumbuh, ukurannya kecil tapi bisa dikembangkan. Menyesuaikan seiring ketika penghasilan mereka bertambah bisa dikembangkan rumahnya," tambahnya.
Namun pemerintah masih menggodok formulasi penetapan harga rumah untuk MBR ini. Diprediksi kebijakan ini akan keluar pada November tahun ini dan akan berlaku hingga 2024.
"Sekarang kan harga rumah subsidi berdasarkan PMK dan Permen PUPR, itu berlaku sampai 2018. Nanti berlaku dari 2019 sampai 2024," ujarnya.